Rabu, 06 Oktober 2010

Telat, Wooooy!!!

Keterlambatan#1
Bunyi detak jam tangan itu berlomba dengan denyut jantungku yang degupannya kian menjadi-jadi. Bunyi yang frekuensinya mungkin tak seberapa itu terasa sangat bising di kupingku. Hatiku makin nggak menentu. Kuarahkan kepalaku ke segala arah kecuali atas dan bawah. Yeah, itu dia si supir! Astagfirullah, apa dia nggak punya hati? Di tengah kegalauan hatiku ini dia malah enak-enakan makan gehu plus cengek di pinggir jalan. Udah bikin orang nunggu lama, eh, malah bikin perutku yang kosong ini makin keroncong protol aja. Lalu keneknya… itu dia! Lagi mondar-mandir di pusat keramaian deket masjid, cari penumpang. Oalaah, itu kan orang-orang pengajian yang baru aja bubar. Mana ada yang mau naik elf1 ini.. kulirik lagi jam tangan bapak-bapak di sebelahku itu. Jarum panjangnya hampir menyentuh angka lima. Setengah tujuh teng, aku harus sudah tiba di kelas. Aku nggak mau tradisi buruk waktu di semester ganjil terulang lagi di minggu pertama semester genap ini. Aku harus coming on time! Cepetan dong… Indonesia nggak akan maju-maju kalo penduduknya lamban kayak kalian!
Setelah Enam Menit… Akhirnya, mobil lelet ini pun mulai melaju pelan. Tapi belum bisa mengusir gelisah ini. Pikiranku mulai menerawangi alam bawah sadar. Wajah scream-nya pak sekuriti Jarwo yang kadang seringainya membuat bulu kuduk rontok, lalu amukan bantengnya pak Ato yang alergi sama murid yang telat datang ke kelas. Atau Bu Erin, yang paling hobi hukumin murid kesiangan dengan menyuruhnya kerjain seabrek soal. Atau…
"Eh, jang, punten bade lungsur.." suara nenek tigaperempat abad-an itu agak nusuk kupingku. Membuat alam bawah sadarku kiamat.
"Em.. mangga Ni.." tanggapku sigap sambil memiringkan posisi dudukku, mempersilakan sang nenek yang beraroma sirih menyengat itu turun. Tapi ngomong-ngomong, ini kan… ya ampun, sekolahanku udah kelewat. Segera aku lompat dari kursi panas mobil tua itu. Gak usah mikirin kenek. Ongkosnya udah kuberi, malah kelebihan gopek. Yang kutakutkan sekarang adalah nasibku dua menit ke depan. Dan aku harus lari. Masih duapuluh meter lagi untuk sampai di gerbang 'eksekusi'.
* * *
Inilah nasibku…
"Dek, maaf, bisa pindah dulu sebentar duduknya? Tempatnya mau dibersihkan dulu sama mamang."
"I…iya, mang… silakan!" aku pun ngalah untuk mencari tempat duduk lain buat ngerjain soal-soal el-ka-es PKN-nya Bu Erin. Sial, padahal tempat di bawah pohon sirsak itu tempat yang most strategic untuk menjalani hukumannya Bu Erin. Lagian, bangkunya nggak kotor, koq. Eh mang, nggak ngerti apa, kalo sekarang aku lagi genok?!?
* * *

Keterlambatan#7
Mungkin ini lariku yang paling cepat sepanjang sejarah pelarianku. Si Teteng aja, orang ter-cangker di kelasku bisa aku tantang kalo lariku kayak gini. Tapi bukan kalimat itu yang akan aku kasih underline. Masalahnya, ini udah empatbelas menit tiga detik lewat jam masuk sekolahku!! Dan ini keterlambatanku yang ke sekiankalinya. Dan—lagi—berbagai jenis hukuman udah terlalu sering aku jalani. Malu, cing! Semua ini emang salahku sih, kenapa milih angkutan yang tadi ku‘konsumsi’, yang akhirnya membuatku harus menunggu bermenit-menit buat memastikan kursinya penuh. Pantes aja di kaca belakangnya ada tulisan "Sabar Saja". Huuh!!
Tapi, kali ini aku nggak tau siapa guru yang ngajar jam pertama. Nggak lihat jadwal pelajaran dulu. Bangunku telat. Masih sukur bisa bawa buku, biarpun cuma dua biji.
Huh.. hah… heh… Akhirnya sampe juga, setelah berhasil memastikan kalo ruang satpam dan guru piket nggak ada orangnya alias kosong. Dan..
"Asalamu'alaikk…" Oh, my gosh! Kok cewek semua. Aku salah masuk!!!
Aku segera lari menghindari suara-suara tawa para cewek yang kedengarannya hepi itu. Ini bukan hiburan, neng!
Tega banget, kok nggak ada kabar kelas cowok pindah ke lantai dua. Jadinya kan aku nggak perlu menanggung kemaluan, ups, rasa malu ini di hadapan umat hawa yang notabene cararentil itu. Yang mengubah warna kulit mukaku jadi merah kepadam-padaman. Biarpun, akhirnya masih bisa slamet 'coz Pak Slamet, guru Fisika, nggak bisa ngajar karena ngehadirin seminar sehari tentang pentingnya menjaga keslametan transportasi. Slameet! Kali ini aku masih bisa mengelus dada dan duduk tenang di bangkuku yang nyaman. Sampai ada suara cempreng Pak Mamat , guru Bidang Kesiswaan, yang mengagetkanku dari persemayaman kayu-ku itu.
"Perhatian dulu, anak-anak. Bapak lihat tadi ada murid yang datang terlambat. Siapa diantara kalian yang kesiangan??! Harap menghadap Bapak sekarang juga. Ada bingkisan menarik!!" semua tatapan orang sekelas yang tajam-tajam pun tertuju padaku. Whatt?!! Aku cuma bisa tertunduk lesu sambil berdo'a, mengharap yang terbaik dari sebuah bingkisan menarik. Bingkisan menarik?? What’s that?
* * *
Bingkisan menarik apa? Ini bahkan lebih menyiksa daripada menarik becak. Apalagi menarik simpati rakyat buat ngedukung calon bupati baru—yang katanya cuma ngobral janji aja. Buat apa ada mang Kikin cs—cleaning service—, kalo yang bersihin toilet harus murid juga. Dasar Cumi!! Cuma Miwarang!!
* * *
Keterlambatan#13
Kayaknya emang udah takdirku jadi orang yang sering telat. Selalu saja ada sesuatu yang nggak biarin aku darang ke sekolah lebih awal. Biarpun Cuma sepele dua pele, tapi akhirnya tetep aja kesiangan. Hingga setiap hari selalu ada yang menantiku di sekolah, sanksi. Sanksi ialah teman sejatiku yang selalu-senantiasa-setia menemani jam pertama KBM-ku. Seperti yang terjadi pagi ini. Hari ini tanggal di kalender lagi 'merah' (jangan mikir jorok, lo!). Ini taun baru imlek, dan sekolahku nggak libur. Aliyah swasta, men!! Kebayang 'kan apa yang terjadi. Angkutan kosong melompong. Mana aku bangun telat lagi. Walhasil, aku kepaksa naik elf yang bersih dari penumpang. Cuman ada sepasang nenek-kakek yang lagi asik berbincang-binatang di pojok belakang. Sepasang produsen peuyeum.
Yah, seperti biasa, aku harus bisa bersabar di dalam angkutan ini. Penyebabnya klasik. Si sopir yang kejar setoran sebisa mungkin harus membuat kursi-kursi kosong dibelakangnya menjadi full of penumpang. Imbasnya, aku harus rela menunggu lama sambil melamun, ditemani aroma peuyeum yang menusuk dan alunan backsound sebuah perbincangan sepasang manula; tentang omzet penjualan peuyeumnya yang menipis, sedangkan harga-harga sembako melonjak abis... wiiy, kereen!!!
* * *

Istirahat—Waktu matahari sepenggalah naik... Dibawah pohon kesemek
"Den, sebenernya ente itu sadar nggak sich, betapa banyak dosa-dosa yang udah ente kerjain? Ente udah berani nantang peraturannya sekolah kita, MA Plus "Hudan Lil Muttaqiin" yang tercinta ini. Guru-guru kita udah dengan susah payah membuat peraturan itu! Lantas, slogan kita "Teladan Sepanjang Zaman, Takkan Melarat Sepanjang Hayat" itu mau dipajang dimana? Kalo kayak gini 'kan ente juga yang rugi. Disuruh keliling lapangan tiap hari kayak tadi. Alih-alih badan jadi sehat, eh, malah encok plus keseleo sana-sini. Terakhir ente ‘kan udah janji nggak akan kesiangan lagi. Waktu itu yang ngebae'at ente itu kan... eeu…"
"Bu Erin."
"Iya, Bu Erin. Malah bae'at itu udah yang ke..."
"Yang kesebelas kali..."
"Iya. Kan dosa ente jadinya dobel. Eh, tripel! Itu munafik namanya. Inget hadis nggak? Ayatul munafek salasun... "
"Iya aku tau, hadis itu udah kuhafal di luar kepalaku. Malahan aku juga hafal siapa rowinya, mukhorrijnya bahkan berapa kali hadits itu di sebut-sebut sama Pak Mamat setiap kali dia ceramah. Tapi bukan itu problemnya, fren! Tau qodo' kan? Ketentuan Allah sejak zaman azali. Nah, qodo' itulah yang membuatku harus kesiangan tiap kali datang ke sekolah!"
"Tapi 'kan manusia juga bisa membenahi diri dari kesalahan yang udah ia perbuat. Rugi banget kalo manusia hari ini masih sama dengan hari kemarennya. Dan inget, Allah nggak akan pernah mengubah keadaan hambaNya sebelum ia sendiri berusaha mengubah kehidupannya. Ente manusia juga 'kan? Manusia juga bisa berkehendak walaupun masih di bawah kehendak Allah. Itu namanya qodar. Ente lupa, ya? Rukun iman keenam itu nggak cuman satu, coy!" Ups, sial. Ilmuku belum nyampe situ. Yang aku tau bang kodar itu tukang pijit keliling langganan bapakku. Si Dedy emang orangnya kritis, perfeksionis, analis, plus doyan sama yang gratis-gratis. Aku yang tadinya optimistis bisa membela diri, malah jadi ciut drastis.
"Iya deh, Ded. Aku nyerah! Aku emang salah. Sering banget males bangun pagi. Kamu tau kan suhu di daerahku kayak apa. Sekarang doa'in aja biar nasibku bisa lebih mendingan dari sekedar pahlawan kabeurangan."
"Pasti, dong! Setiap kali abis solat, ane pasti doa'in ente biar jadi anak yang soleh, taat, dan rajin kayak ane. He.. he.." Dedy ngikik sendiri. Senyumnya lebar banget. Hidungnya itu lo, kembang kempis persis kodok yang lagi nyanyi di empang.
"Kamu itu emang Narsis mugholadoh! Tapi... makasih ya, Ded. kamu itu kadang bisa mengerti juga perasaan manusia."
"Of course! Tapi ngomong-ngomong udah lama nih nggak traktir ane. Ente punya duit lebih, kan?!"
"Huuuh, dasar kang UUD, Ujung-Ujungnya Doku!!" semprotku sambil ngacak-ngacak rambut Dedy yang cuman dua setengah senti itu. Dia cuman nyengir kuda sambil menyeretku ke kantin sekolah. Ini sih namanya penjarahan dompet!
* * *

Kamarku yang sumpek, jam dalapanan peuting.
Aku setuju sama si Dedy. Aku harus bisa mengubah pola hidupku yang rada hedonis itu. Pokoknya aku nggak mau namaku yang sekaliber Dennis Martian—biarpun cuma buatan sendiri—ini harus terkonversi jadi Si Temul [telat-mulu] gara-gara sering datang kesiangan. Dan aku nggak boleh jadi cumi [cuma mimpi] untuk jadi murid teladan se-kecamatan. Yap, aku musti berusaha. Let's change the world!!
Soal persiapan, sepulang sekolah tadi aku udah beli perlengkapan bangun pagi. Ya, segala macam. Aku beli dua biji jam weker “Gorejat” yang kata si mbak pelayan bisa bangunin siapa aja, sampai orang budeg sekalipun. Lalu, aku juga beli aneka macam obat biar tidur pules tapi bangunnya gak males, dari yang punya merek “Lelap” sampai “Keblook”.
Dan yang terakhir, aku sempat mampir ke pasar Kliwon pinggir kota buat beli satu barang lagi. Kata aki eNdoy—adiknya mertuanya ade iparnya teman bapakku—barang yang satu ini paling jitu buat ngebangunin tukang tidur kayak aku. Bisa nebak nggak? Aku kasih waktu deh buat nebak. … Ah, mikirnya kelamaan! Nama barangnya adalah … Ayam Jago! Ya, aku sampai rela ngebobol tabunganku buat beli ayam itu. Bayangin aja, buat beli seekor ayam yang bobotnya tidak lebih dari dua seperempat kilo itu, saldo tabunganku harus berkurang hingga 74 persen! Katanya sih, ayam ini suaranya merdu dan menggelegar, pernah menjuarai kompetisi lagi! Biarpun cuma tingkat desa dan jadi juara harapan ketiga.
Yah, ikhtiar itu emang harus ngorbanin jiwa, raga, dan harta. Tapi not what what, toh itu semua buat musnahin gelar ‘Si Temul’ yang udah lama tersemat dengan paksa di badan keringku ini. Betewe, aku harus segera pasang semua perlengkapan, udah jam 9. Ayamnya aku taruh aja di kandang luar rumah, bersebelahan sama jendela dan ranjangku. Kali aja aku bisa langsung bangun pas ngedenger kokokannya. Nggak lupa, sebelum tidur, sekitar lima butir obat kutelan bulat tanpa minum.
* * *

Keterlambatan#14
ASTAGHFIRULLLAAAAH, wot hepen?? Aya naon?? Apa yang terjadi dengan aku? Bisa-bisanya aku telat bangun lagi. Setengah jam lagi bel masuk sekolahku bunyi, aku kok baru bangun? Gawat ini! Apa yang harus aku lakuin sekarang? Apa aku harus ke UGD buat nanganin ke-gawatdarurat-an ini? Kemana itu alat-alatku? Jam weker sama ayam jago... kok nggak bunyi?
“Maaaaaaaak..!!” terpaksa aku teriak sekerasnya.
“Iya, Den… aya naon atuh, kabeurangan deui, nya? Geura solat subuh gih!!” tergopoh-gopoh emak mendatangiku. Sodet dan serok masih di tangannya.
“Emak kok nggak ngebangunin Denis? Jadinya kan dihukum lagi? Terus jam wekernya kenapa nggak bunyi? Terus nasib Denis gimana? Denis kan…”
“…eeeh, itu mulut apa klakson? Ngomong kok nyerocos gitu. Dengerin dulu, tadi pagi jam setengah empat, weker kamu itu udah pada bunyi, berisik sekali, sampai-sampai orang serumah pada bangun. Emak yang lagi tahajud jadi teu bisa husuk. Ya udah, emak matiin, biar nggak ganggu semua orang. Emak udah bangunin kamu, tapi aneh, kamu teh mani kebluk pisan, nya?! Tapi, Den. Weker kamu itu nolongin banget lho!”
“Nolongin? Nolongin gimana, Mak?”
“Iya, semalam itu di kampung kita ada segerombolan maling. Malah sempat membobol beberapa rumah tetangga. Tapi berkat wekermu itu, orang di rumah ini pada bangun semua. Si maling jadi ngebatalin niatnya buat ngerampok harta di rumah kita! Untung aja ada wekermu, jadi si malingnya cuma sempat membawa pulang ayam jago aja. Hi..hihi.. Rasakeun siah, maling! Dasar orang jahat!!!”
“Apaaaaa…!!? Ayam jagonya dibawa pergi?? Terus malingnya ketangkep??”
“Itu dia, kata Bi Romlah sih, mereka berhasil kabur nggak tau ke mana. Habis, masarakatnya terlambat datang ke TKP! Nggak sempat ngejar. Eh, ngomong-ngomong, bau apa ini, Den? Ya Allah, comro emak tutung!! ”
Aku terkulai lemas. Tabunganku….
* * *
Tidak akan pernah ada yang bisa menghindari kodrat Allah. Untuk sementara kesimpulan itulah yang aku fahami saat ini. Bayangkan,barang segitu banyak, nggak ada satupun yang berhasil menolongku. Obat-obatan itu malah membuat tidurku tambah pules dari biasanya. Aku bener-bener nggak tau, kenapa nasibku kok gini-gini amat. Si Amat aja nggak gini! Lalu apakah aku bisa naik kelas dengan keadaan kayak gini. Dengan prestasi sebagai pencetak rekor paling banyak kesiangan. Haha.. lucu banget. Kalau bukan di negeri dongeng mana ada penghargaan kayak gitu. Aku ini emang tukang ngayal. Udahan ah, ngelamunnya. Udah nyampe sekolah nih!
“Kiriiii.. kirii… eeeh, kiriii maaang!!” sopirnya budeg apa bolot, sih! Aku kan lagi buru-buru!
“Kiriiiiiii!” rahangku mulai kram.
“Ckiiiiiiit!!!” mobil pun direm mendadak. Semua penumpang terdorong sama pengaruh gaya gesek ban mobil gundul bermerek “Dunlop” itu. Sebagian tereak histeris. Sebagian lagi ada yang kejedot jok. Astaghfirullah, ternyata sopirnya emang benar-benar tunarungu!
* * *
Ah, kayaknya nggak usah buru-buru, deh! Ini kan udah terlalu siang. Udah pasti hukuman telah stand by menantiku. Aku sudah kehilangan harapan lagi. Mau diapain juga kayaknya aku udah pasrah sumerah..
Tapi, kok sekolah rame banget. Wah, ada kejadian apa lagi nih, kok anak-anak nggak pada belajar, balon dimana-mana, pita warna-warni, banyak pedagang, sampe ada panggung segala. Tulisan apa tuh! “Dengan Memperingati Milad yang ke-13 MA Plus Hudan Lil Muttaqien, Kita Tingkatkan Kwalitas Siswa Semaksimal Mungkin.” Weleh, weleh, kok bisa sampai lali aku, kalo sekarang itu ultahnya sekolah. Aku mulai bisa bernafas lega sekarang...
“Hei, Temul, lu itu emang gak bisa berubah, ya!” Tiba-tiba sebuah suara serak-serak lembap nyamber gitu aja kayak bensin. Si Komar, ketua organisasi siswa.
“Lu dari mana aja, Mul? Dari tadi kita sibuk ngurus acara ini, elu malah baru datang! Awas lo, ketauan Pak Mamat! Tadi do’i marah-marah karena kita nggak becus ngatur perlengkapan acara. Banyak panitia yang nggak hadir, dan datang kesiangan. Dan liat tuh! Yang lagi pada kerja itu siswa yang datangnya kesiangan. Untung aja elu nggak ketauan telat, kalo nggak, waaah bisa barabe! Hukumannya bisa lebih berat, men!” suaranya tambah serak.
“Beneran, Kom? Trus, sekarang Pak Mamat-nya ada di mann….”
“…Ehm, Pak Mamat-nya di sini… Di belakang kamu!” Subhanallah, suara cempreng itu… Aku nggak nyangka kalo Pak Mamat bisa nongol di mana aja kayak walisongo! So amazing!!! Kalo udah gini, tinggal tunggu komando aja!

* * *
“Acara memperingati milad sekolah dilanjutkan ke acara ketiga, yaitu HULK in Awards. Hudan Lil Muttakin Awards. Penghargaaan untuk warga sekolah yang lain daripada yang lain. Maksudnya yang punya prestasi tersendiri gituh, baik itu baik atau nggak baik! Hihi.. Ada berbagai macam kategori.. diantaranya.. bla… bla… bla…” suara nyaring itu terus ‘berloncatan’ dari mulut Siti Jamilah, ketua organisasi siswi HULKin yang juga penyiar radio swasta Bawel FM. Biasa, acara award rutin taunan, yang muncul atas gagasan Bu Ranti yang hobi banget mantengin acara serupa di teve-teve. Acara yang menurutku basi, monoton, paling ngebosenin, dan -maaf- bikin orang sepertiku sirik alias dengki. Para siswa biasa sepertiku dipaksa nyaksiin satu persatu guru atau murid berprestasi lalu lalang dari tempat duduk ke panggung, menerima piagam, mengeluarkan sepatah dua patah tiga patah kata, lalu duduk lagi. Buat apa sih, ada acara yang seperti itu?! Paling yang menang itu-itu juga, nggak beda. Lebih baik diganti aja sama acara yang agak seruan dikit. Sabangsaning hiking, kemping, treveling, studi banding, mancing, dan ing-ing yang lain kecuali maling. Hehe.. Just kiding! Pokoknya acara yang bikin refreshing, gak bikin boring, dan yang pasti gak bikin kantong kita kering. Oke nggak, cing?!
“…Untuk kategori keenam, yaitu ‘The Most Consistant Student’. Siswa yang paling konsisten, yaitu yang paling rajin datang ke sekolah alias nggak pernah absen.”
Penghargaan apaan tuh? Perasaan baru denger. Ada–ada aja!
“…Nominasinya adalah: Dedy Irama Dores, Komar Karoma Marko, ehm… Siti Jamilah,
Sarinah Muharoroh, dan.. Deden Marjuki Sopiyan...”
Eh, yang terakhir siapa? Itu kan nama pemberian emak buatku. Nama asliku kok disebut-sebut?
“…Pemenang kali ini sangat spesial, coz pemenangnya nyabet dua penghargaan sekaligus.. yaitu sama kategori siswa pencetak rekor paling sering terlambat datang ke sekolah. Penasaran siapa orangnya….??”
Semua orang saling pandang dan berbisik-bisik, tak terkecuali guru-guru. Kategori kali ini lebih gila lagi. Masa yang aku lamunin tadi pagi bisa muncul di dunia mayapada ini. Aku penasaran siapa orang yang aneh itu? Apa benar aku?
“Penghargaan tersebut jatuh menimpa…. Deden Marjuki alias Temul!!! Selamat! Hadiah berupa voucher belanja sebesar seratus ribu lima ratus rupiah bisa diambil di kantor kesiswaan… ”
Hahhh!!? What’s Up? Rasanya jantungku ini berenti berdenyut, serasa ada berton-ton batu yang menimpa tubuhku. Kok bisa sih? Aku emang merasa gak pernah nggak sekolah dan gak pernah gak kesiangan, tapi… ini bukan mimpi kan?!!
“Temuuul… Temuuul…!” dalam sekejap beberapa massa HULKin mengerubungiku, macam-macam aksinya. Ada yang ngedorong, narik-narik baju, ngejambak, sampai ngangkat-ngangkat badanku! Ampun…..!!! Kalo gini ceritanya, aku bisa mati beneran!!!
“Hey, Den!! Den!! Bangun! Udah mau bubar nih! Udah jam dua siang!! Acaranya udah beres! Gudangnya udah rapi kok!!” sebuah suara tiba-tiba mengagetkanku. Melenyapkan semua keriuh-ricuhan itu. Ya Allah, ternyata efek obat tidur itu masih kuat, ini memang Cuma Mimpi!
“Dasar tukang molor, masa di gudang aja ente bisa ketiduran!!” Si Dedy langsung ngeloyor pergi, meninggalkan seribu tanda tanya dan tanda seru di kepalaku. Hening, hanya ada bunyi nafasku yang masih terengah dan decit tikus yang seolah menertawakanku.
* * *

My first short story, for my better habits…
Bayongbong, 3 Syawal ’29—sepuluh menit sebelum tidur

Catatan Ceker:
Elf : Angkutan sejenis mikrobus, biasanya berjurusan Bandung - Garut Selatan.
Gehu : gorengan tauge-tahu
Cengek : cabe rawit
Cangker : cepat larinya, gesit
Genok : kesal, jengkel
Cempreng : melengking
Miwarang : nyuruh
Kabeurangan : kesiangan
Mani kebluk pisan : lelap sekali

Minggu, 06 Juni 2010

Kecolongan

Malam itu aku sedang menunggu kereta api di kursi tempat penungguan kereta di stasiun Lempuyangan, Jogja. Aku hendak pulang kampung setelah berbulan lamanya sibuk kuliah.
Karena waktu kedatangan masih lama, sekitar satu jam, sembari menunggu aku bermain HP. Tiba-tiba seorang pedagang asongan menawariku koran. Ah, daripada smsan tak jelas, aku berfikir mending baca koran. Wawasan jadi bertambah, gak ketinggalan informasi. Aku pun membeli koran itu, lagipula harganya tak mahal mahal amat. Perhatianku pun beralih dari HP ke koran, sementara HPku aku simpan di saku jaket ku.
Aku mulai membuka koran itu. Berita demi berita ku baca, hingga satu berita yang agak unik. Tentang penjambretan dengan cara yang baru. Ceritanya si penjambret yang menaiki sepeda motor menghampiri korban dan meminjam HP untuk mengirim sms, karena pulsa HP miliknya habis. Dan pelaku langsung kabur ketika korban menyerahkan HP nya. Ada-ada aja.
Aku tersenyum, ada gunanya juga aku beli koran ini. Setidaknya aku sudah tahu strategi penjambretan yang baru itu, jadi bisa lebih hati-hati menjaga harta milik sendiri. Biar gak dicopet apalagi dijambret.
Akhirnya aku pun selesai membaca koran itu dan berfikir untuk kembali berHP ria. Sms terakhir temanku belum sempat di balas. Tapi... hah, dimana HPku..?? Tadi kumasukkan saku. Aku memeriksa seluruh kantong bajuku, isi tasku.. hasilnya nihil.
Jangan-jangan... Innalillahi.. Astaghfirullah.., aku kecolongan.!!
Aku pun lunglai. Mungkin ini strategi pencopetan yang paling baru..
(Peringatan: Jangan lupakan HP ketika baca koran di tempat umum..!!)

Sabtu, 05 Juni 2010

KEKUATAN TERAKHIR


Sebuah senapan laras panjang berwarna hitam gelap aku temukan dari reruntuhan sebuah rumah. Aku tak tahu ini pertanda apa. Yang jelas sekarang aku dan teman-temanku harus berbuat sesuatu dengan benda ini. Aku sama sekali tak pernah rela mereka mengambil dengan serta merta keluargaku. Dan seperti nasib temanku yang lainnya, mereka mengharuskanku untuk tidak menempati rumahku lagi. Ya, semuanya sudah luluh lantak. Sekolah, rumah sakit, masjid, dan rumah-rumah. Beserta ummi, abi dan Syifa adikku di dalamnya, syurgaku hancur dua hari yang lalu akibat serangan roket zionis laknat itu. Aku sedang tiada di rumah kala itu. Tapi itu sungguh tak kusebut sebagai sebuah keberuntungan. Keberuntungan yang mana yang membuat seseorang tak bisa lagi merasakan nikmatnya kebersamaan beserta orang-orang yang sangat disayanginya. Selamanya.

Israel. Kata itu sungguh aku muak mendengarnya. Mendengarnya membuatku tak bisa menahan hasrat untuk segera melumatkannya. Penjajah yang haus darah kekuasaan. Yang merasa sayang melewatkan waktu tanpa mendzalimi kami. Semua tahu itu. Tapi semangat kami bukanlah sebongkah salju yang lantas mencair kala panas merongrong tubuhnya. Dan perlu kau tahu semangat perjuangan kami meraih keadilan melebihi kokohnya bukit Sinai. Ya, kami warga Palestina tidak serendah yang mereka bayangkan.

Terlebih aku. Dengan tanganku sendiri kuharap bisa mencicil rasa dendam yang aku tahu, itu takkan habis. Tekadku sungguh bulat. Walau sekadar satu dua serdadu, aku berangan bisa membalas kekejian mereka.

"Aku yakin benda itu milik anggota militan Hamas. Yang aku tahu ini adalah rumah Sulaiman Muntazer. Salah satu anggota Hamas. Ya, dia beserta kedua anaknya tewas akibat roket Israel semalam!" Saleem terus mengoceh. Sekedar memberi penjelasan tentang benda asing yang aku temukan. Sebenarnya tak perlu dijelaskan.

"Aku tahu, Saleem. Dan sepertinya senapan ini masih baru dan bisa kita gunakan. Coba kamu cek!" senapan yang tak terlalu berat itu segera kuserahkan pada Saleem. Aku yang masih umur dua belas sungguh tak mengerti tentang persenjataan macam itu. Dan kuharap Saleem menguasainya.

"Ya, kau benar Zaed. Pelurunya masih utuh. Dan kulihat senapan ini tak mengalami kerusakan selain debu-debu yang membuat warnanya tak lagi mengilap." Saleem menyunggingkan senyumnya ke arahku. Senyum pengharapan.

"Lalu, apakah…."

"ISRAEL DATANG!! SIAPKAN SENJATA!!!" tiba-tiba sebuah teriakan mengagetkan kami. Menggantungkan kalimatku. Kulihat beberapa pemuda memunguti batu-batu kecil dan bersicepat mereka menyembunyikan tubuh mereka di balik dinding reruntuhan.

"Kita belum bisa menggunakannya saat ini, Zaed. Cepat sembunyikan barang itu di balik bajumu, dan pulanglah! Kita bisa mengaturnya esok hari! Aku akan menyerang para cecunguk itu sekarang!" Aku mengerti. Saleem sama sepertiku, belum tahu caranya. Demi menyelamatkan benda itu aku segera meninggalkan Saleem yang tengah sibuk mengumpulkan serpihan batu dari gunungan reruntuhan itu. Bukan keberanianku yang ciut, tapi ini menyangkut nasib kami yang masih di ujung tanduk.

"ALLAAAHU AKBAR!!!" aku sempat melihat sebuah artileri bengis dihujani puluhan batu dari tangan para pemuda itu, sebelum aku beringsut cepat.

***

"Apakah aku bisa menggunakannya, Paman?" pertanyaanku membuat paman Syayyaf sedikit meringis. Luka di bahu kirinya belum sembuh benar. Ia lalu meletakkan Al-Qur'an mungilnya dari genggamannya. Wajahnya menyiratkan keraguan.

"Paman bukannya takut, Nak! Andai saja paman sehat, paman sendiri yang akan membantai mereka. Paman mengerti kekesalanmu itu. Tapi… Uhkk.!!! Kamu harus hati-hati. Menggenggamnya di tanganmu adalah antara hidup dan mati. Sebisa mungkin kamu harus sudah dapat melumpuhkan mereka sebelum mereka menghancurkan jantungmu." Paman menatapku nanar.

"Aku mampu melakukannya, paman. Melihat cara paman menggunakannya tadi, aku bisa mempraktikkannya langsung di hadapan mereka. Aku akan membuatmu bahagia. Juga abi dan ummi!" Perlahan perkataanku dapat memudarkan keraguan paman.

"Paman tahu itu. Tapi ingat, Nak. Kita berjuang demi agama dan bangsa kita. Berjuanglah atas nama Allah. Perangilah mereka yang memerangi Allah, niscaya darahmu mewangi meski mereka meremukkan tulang-tulangmu sekalipun. Janji Allah itu nyata. Surgalah jaminannya…" Suara paman tertahan. Paman menangis. Seperti saat istri tercintanya wafat seminggu yang lalu. Disusul putri semata wayangnya selang sehari kemudian. Suasana terasa begitu hening. Di barak pengungsian yang marak ini, sepertinya aku hanya bisa mendengar sedu-sedan paman. Ah, Israel! Aku takkan membiarkanmu terus berlagak menjadi Izrail bagi kami. Aku-lah yang akan menjadi Izrailmu! Camkan itu!

***

Kudapati berita memilukan. Saleem beserta lima temanku yang lainnya syahid saat berintifadha kemarin petang. Aku tidak menangis. Bukan tak sedih. Airmataku sudah kering. Tapi aku berharap akan syahid pula seperti mereka. Tentunya dengan mengirimkan serdadu-serdadu itu ke neraka yang paling dalam. Ya, engkau telah mengobarkan semangatku untuk itu, kawan! Aku sedang menunggu waktu yang tepat untuk mewujudkannya.

Hari ini tepat hari kelima agresi Israel jalur darat. Setelah sepekan lebih pesawat-pesawatnya meratakan pemukiman kami dengan kiriman rudal-rudal dan roket missil-nya dari udara. Dan enam ratusan nyawa orang-orang tanpa dosa melayang tanpa perlawanan yang berarti. Jumlah itu tak akan bertambah jikalau binatang-binatang itu masih memiliki secuil nurani dalam dirinya. Sempat kubaca berita dari sebuah surat kabar Gaza.

"Kami akan terus melancarkan agresi ini sampai melumpuhkan kekuatan Hamas. Bukan salah kami jika nyatanya banyak warga sipil yang menjadi korban. Hamas-lah yang bersembunyi di pemukiman mereka. Di belakang punggung anak-anak sekolah!" Livni Laknatullah menyampaikan pernyataannya. Sebuah dalih yang benar-benar tak logis. Orang yang tak waras tentu akan membenarkan perkataan itu. Dimana kau simpan otak dan hatimu selama ini, kalau kau memang memiliki keduanya?! Bilang saja kalau kau ingin memusnahkan kami hingga tempat ini bisa kau duduki. Apapun caranya, secanggih apapun jalannya, kau takkan bisa mendapatkan hak itu. Karena ini tempat kami. Takkan kami biarkan kau mengusik ketenangan kami disini.

Jika itu aku lihat dari televisi, aku pastikan wanita jalang itu dengan wajah angkuhnya membanggakan kekuatan negeri yang enampuluh tahun silam tak ada di muka bumi ini. Keangkuhan yang telah menyumpal matanya untuk sekadar melirik gelimpang mayat 'hasil karya'nya di sini. Terus berceloteh dengan senyum keyakinan bahwa Gaza beserta Hamas akan takluk di ujung kaki-nya. Sesumbar itukah kau mengatakannya, wahai calon bahan bakar Jahanam? Tak tahukah engkau bahwa kami tidak sendiri? Kami tidak gentar dengan rudal, jet, tank, senapan, dan semua kekuatan syaitanmu. Ada Allah yang akan menurunkan ratusan bahkan ribuan malaikatNya untuk memihak kami! Kami punya Allah!! Kelak kami akan membuat kalian tak berdaya, dan aku turut turun tangan melakukannya. Dengan benda ini. Senapan ini. Ah, aku tak sabar menunggu hari esok. Aku telah merencanakannya. Aku tak mau semua rencanaku, usahaku, latihanku berujung kesia-siaan.

***

Sebuah hari yang seharusnya indah, karena aku akan merasakan kemenangan di dalamnya. Sebuah hari yang kurencanakan berjalan dengan elu-elu kejayaan orang-orang yang terdzalimi. Ini hari yang semestinya aku bisa membunuh utusan iblis itu. Aku sungguh tak bisa mengampuni mereka. Semuanya di ambil. Diseret. Dengan paksa. Israel melancarkan operasi darat dan kali ini mereka turun langsung ke pengungsian kami. Mencari para pejuang Hamas, dalihnya. Aku melihat betapa manusia bisa memiliki kekejaman melebihi binatang. Seorang paruh-baya tanpa basa basi ditarik dari pembaringannya, dipukul, ditendang, diludahi. Kekejian yang tak lazim disaksikan oleh seusiaku. Dan aku berontak, ingin kuhentikan perlakuan itu. Aku tak rela mereka melakukan itu kepadanya, dia pamanku! Tangan-tangan ini. Jangan menghalangiku! Kau tak tahu betapa aku letih merasakan ini! Aku ingin membalasnya. Nyaliku nyaris runtuh saat kudapati dia, keparat itu, membawa serta senapan yang kutemukan, yang belum sempat kuambil dari balik tikar itu. Aku terlambat. Mereka terlalu kuat. Mereka berhasil mengobrak-abrik tempat kami, sebagaimana ia mengobrak-abrik harga diri kami. Mereka terbahak saat memoncongkan senjata itu ke arah kami. Tak ada yang bisa kulakukan selain kuhardik mereka dengan suaraku yang mulai serak.

"Pamaaaan!! Jangan kau ambil pamanku! Tak puaskah engkau telah mengambil seluruh penjagaku?! Jangan kau ambil pula yang tersisa dari keberingasanmu!!" Uh, kalimat terakhir itu kulontarkan tanpa siapapun yang bisa mendengarnya. Pita suaraku kering, tak bersuara. Kurasakan energiku luruh. Aku limbung.

***

"SERAAAAAAANG!!!!"

"ALLLAAAAAAAHU AKBARRR!!!"

Aku akan melakukannya! Biarlah tak kugenggam senjata baja itu. Aku masih punya yang lain, peluru yang kudapatkan langsung dari bumi Allah. Batu-batu ini. Aku akan melawannya dengan batu-batu ini. Lambang kekuatan Palestina. Kelak batu-batu ini menjadi saksi semangat perjuangan kami yang tak kan luntur.

Kedua tanganku telah kupenuhi dengan batu-batu. Bismillah! Rasakan ini zionis laknatt!! Aku melangkah maju beberapa meter melebihi pemuda lain. Dan satu persatu kulempar mereka, tentara yang sok itu, dengan batuku. Tak kusangka, semuanya tepat sasaran! Aku dapat melihat satu, dua, tiga dari tentara itu mengerang, menjerit, terhuyung. Akhirnya aku dapat mencicipi kemenangan yang sekian lama teridam.

AKU MENAAANG. RASAKAN ITU PENJAHAT! HAHAHAHAHAAAAA..!!!! KAU KALAAAAAH!! AKU MENAAAAANG!!! HOREEEEEEEE!!!

Sesaat setelah kemenangan itu, aku membuka mataku yang sempat terpejam. Dan… tentara itu, tank itu, para mujahid Palestina, semuanya lenyap. Aku dapatkan suasana yang sama sekali berbeda. Ada tiga orang anak seusiaku. Kulihat mereka menangis tepat di hadapanku. Mengerang dengan lumuran darah di kepalanya. Kerikil kecil berserakan di lantai. Kudengar tawa, sorak sorai, teriakan, tepukan tangan, hingga hujatan dari anak-anak lain di sekelilingku. Kemudian dua orang wanita serba putih menarik lenganku. Wajahnya sendu dan aku tak bisa membaca gerak bibir mereka yang sepertinya mengatakan sesuatu. Mereka memaksaku meninggalkan anak-anak dan suara yang semakin bergemuruh itu. Aku diseret ke sebuah kamar yang gelap dan agak pengap. Ke sebuah ranjang yang sama sekali tak empuk. Di samping seorang bocah yang tengah terlelap. Dan aku berusaha berontak sekuat tenaga. Aku tak bisa membiarkannya. Aku harus melanjutkan perlawananku melawan Israel. Namun sia-sia. Semakin kuberontak, tangan itu semakin kuat mencengkeram lengan dan kakiku. Kepalaku berdenyut hebat. Pikiranku kacau balau.

Aku tak percaya ini…

"UMMI… ABI… PAMAAN….!!! AAARGH… LEPASKAN AKU..!!! AKU TIDAK GILAAAAA!!!!"

***

Bayongbong, 09 Januari 2009

Untuk ketabahan warga Palestina, kalian tidak sendiri!


Menurutmu apa hukuman yang pantas diberikan kepada israel?

Followers

Chat